Tindak Pidana Korupsi Masih Merajalela dari Timah 271 Triliun Sampai Jiwasraya :  Bagaimana Dengan RUU Perampasan Aset?

Rechtify News / Article
Author : Lexia

Mei  1, 2024 06:05 AM

Gambar 1 : “kpk kembali mengungkap kasus korupsi di tubuh kementerian” Media.Suara.

Kasus korupsi terbesar di Indonesia yang terjadi pada tahun 2015 hingga 2022 melibatkan PT Timah Tbk dan mencapai kerugian negara sebesar Rp 271 triliun[1][2]. Korupsi ini dilakukan oleh Harvey Moeis, suami aktris Sandra Dewi, yang ditetapkan sebagai tersangka ke-16 dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah tanpa izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk[1][2]. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Harvey Moeis sebagai tersangka ke-16 kasus korupsi tersebut[1][2].

Korupsi ini melibatkan pengelolaan tata niaga komoditas timah yang tidak sesuai dengan peraturan dan mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Kerugian ini termasuk kerusakan hutan dan kawasan non hutan, dengan total kawasan hutan sebesar Rp 223,366 triliun dan kawasan non hutan sebesar Rp 47,703 triliun[1][2].

Kasus korupsi ini menjadi sorotan karena kerugian yang sangat besar dan melibatkan seorang artis yang dikenal sebagai Sandra Dewi. Kasus korupsi ini juga menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di kalangan bisnis, tetapi juga di kalangan artis dan politikus.

Namun, kasus korupsi ini bukanlah satu-satunya sorotan dalam sejarah Indonesia. Skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) pada tahun 2004, misalnya, juga menimbulkan kerugian besar bagi negara sebesar Rp 147,7 triliun. Krisis ekonomi pada saat itu memperparah situasi, dengan puluhan bank mengalami kebangkrutan.

Kasus-kasus lainnya seperti skandal Asabri, Jiwasraya, E-KTP, Pelindo II, BTS 4G, serta berbagai kasus lainnya juga menunjukkan dampak serius dari korupsi terhadap perekonomian dan stabilitas negara. Dalam beberapa kasus, praktik korupsi bahkan telah mengakibatkan kerugian triliunan rupiah bagi negara.

Menghadapi tantangan ini, pemerintah dan lembaga anti-korupsi terus berupaya untuk menindak tegas para pelaku korupsi dan mencegah terulangnya kejahatan serupa di masa depan. Semua pihak, baik dari kalangan pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil, perlu bersatu untuk memerangi korupsi dan membangun negara yang lebih transparan dan bersih dari praktik korupsi.

RUU Perampasan Aset: 
RUU Perampasan Aset telah mengalami perjalanan yang panjang sejak tahun 2010. Pada periode Prolegnas 2015-2019, RUU ini termasuk dalam program legislasi nasional, namun tidak pernah dibahas karena tidak masuk dalam daftar prioritas RUU. Kemudian, pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020, namun usulan tersebut tidak disetujui oleh DPR RI.

Meningkatnya kasus kekayaan tidak lazim oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan keluarganya menjadi perhatian penting bagi masyarakat dan pemerintah. KPK telah memperkuat urgensi ini dengan mengungkapkan ketidakjujuran ASN dalam melaporkan kekayaannya melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).

Presiden Joko Widodo mengirim Surat Presiden Nomor R22/Pres/05/2023 dan naskah RUU Perampasan Aset kepada Ketua DPR RI dengan pesan agar pembahasan dan instruksi ini menjadi prioritas utama. Hal ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menangani masalah kekayaan tidak lazim dengan serius.

Pada tahun 2023, pemerintah dan DPR RI mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023. Ini menandai langkah maju dalam upaya legislasi untuk menangani korupsi dan kekayaan tidak lazim di Indonesia.

Terhambatnya pelaksanaan perampasan aset disebabkan oleh kurangnya politik hukum negara dan eksistensi aset di luar negeri. Politik hukum adalah strategi pemerintah untuk mengesahkan peraturan yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat, sedangkan eksistensi aset di luar negeri menjadi kendala dalam pelaksanaan perampasan.

Pengaturan RUU Perampasan Aset perlu mengadopsi prinsip dasar dari United Nations Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hal ini meliputi definisi spesifik, jenis tindak pidana, prosedur pemblokiran, penyitaan, dan perampasan, subjek perampasan aset, prosedur pengadilan, pengelolaan aset, ganti rugi, perlindungan pihak ketiga, dan kerja sama internasional.

RUU perlu menetapkan definisi yang spesifik dan jelas mengenai perampasan aset serta jenis-jenis tindak pidana yang dapat mengakibatkan perampasan aset. Hal ini akan membantu APH dalam menangani kasus-kasus perampasan aset dengan lebih efektif.

Meskipun RUU Perampasan Aset memiliki potensi untuk mengurangi korupsi dan mengembalikan aset negara, tantangan dalam implementasi dan evaluasi akan terus ada. Penting untuk terus memantau dan mengevaluasi kinerja RUU ini serta melakukan perbaikan jika diperlukan agar dapat mencapai efektivitas yang maksimal dalam menangani masalah kekayaan tidak lazim di Indonesia.
Referensi:
  • Fernan Rahadi, "Kasus Korupsi Timah, Pengamat Kembali Desak Pengesahan RUU Perampasan Aset," Rejogja Nasional, April 18, 2024
  • A Margana Wiratna. ""Siapa Menghalangi RUU Perampasan Aset?". Detik News

About Us


Rechtify is an intuitive legal education platform designed to simplify complex legal concepts. Whether you're a student, legal professional, or someone interested in understanding legal principles, Rechtify provides clear explanations and engaging learning experiences.

© Copyright 2025 Rechtify - All Rights Reserved

AI Website Generator