RUU Perampasan Aset telah mengalami perjalanan yang panjang sejak tahun 2010. Pada periode Prolegnas 2015-2019, RUU ini termasuk dalam program legislasi nasional, namun tidak pernah dibahas karena tidak masuk dalam daftar prioritas RUU. Kemudian, pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020, namun usulan tersebut tidak disetujui oleh DPR RI.
Meningkatnya kasus kekayaan tidak lazim oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan keluarganya menjadi perhatian penting bagi masyarakat dan pemerintah. KPK telah memperkuat urgensi ini dengan mengungkapkan ketidakjujuran ASN dalam melaporkan kekayaannya melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
Presiden Joko Widodo mengirim Surat Presiden Nomor R22/Pres/05/2023 dan naskah RUU Perampasan Aset kepada Ketua DPR RI dengan pesan agar pembahasan dan instruksi ini menjadi prioritas utama. Hal ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menangani masalah kekayaan tidak lazim dengan serius.
Pada tahun 2023, pemerintah dan DPR RI mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023. Ini menandai langkah maju dalam upaya legislasi untuk menangani korupsi dan kekayaan tidak lazim di Indonesia.
Terhambatnya pelaksanaan perampasan aset disebabkan oleh kurangnya politik hukum negara dan eksistensi aset di luar negeri. Politik hukum adalah strategi pemerintah untuk mengesahkan peraturan yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat, sedangkan eksistensi aset di luar negeri menjadi kendala dalam pelaksanaan perampasan.
Pengaturan RUU Perampasan Aset perlu mengadopsi prinsip dasar dari United Nations Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hal ini meliputi definisi spesifik, jenis tindak pidana, prosedur pemblokiran, penyitaan, dan perampasan, subjek perampasan aset, prosedur pengadilan, pengelolaan aset, ganti rugi, perlindungan pihak ketiga, dan kerja sama internasional.
RUU perlu menetapkan definisi yang spesifik dan jelas mengenai perampasan aset serta jenis-jenis tindak pidana yang dapat mengakibatkan perampasan aset. Hal ini akan membantu APH dalam menangani kasus-kasus perampasan aset dengan lebih efektif.
Meskipun RUU Perampasan Aset memiliki potensi untuk mengurangi korupsi dan mengembalikan aset negara, tantangan dalam implementasi dan evaluasi akan terus ada. Penting untuk terus memantau dan mengevaluasi kinerja RUU ini serta melakukan perbaikan jika diperlukan agar dapat mencapai efektivitas yang maksimal dalam menangani masalah kekayaan tidak lazim di Indonesia.